Jumat, 19 Oktober 2012

JAMUR PADA ONCOM

Dikenal pula dengan nama ilmiahnya Neurospora sitophila (dahulu Monilia sitophila).  Nama Neurospora berasal dari kata neuron (= sel saraf), karena guratan-guratan pada sporanya menyerupai bentuk akson.   Jamur oncom termasuk dalam kelompok kapang (jamur berbentuk filamen).  Sebelum diketahui perkembangbiakan secara seksualnya, jamur oncom masuk ke dalam kelompok Deuteromycota, tetapi setelah diketahui fase seksualnya (teleomorph), yaitu dengan pembentukan askus, maka jamur oncom masuk ke dalam golongan Ascomycota.

Secara umum klasifikasi Jamur oncom, sebagai berikut:
Kingdom: Fungi
Phylum: Ascomycota
Subphylum: Pezizomycotina
Class: Ascomycetes
Order: Sordariales
Family: Sordariaceae
Genus: Neurospora
Jamur N. crassa dikenal pula sebagai kontaminan, terutama di dalam laboratorium. Sebagai contoh tinggalkanlah sebonggol jagung rebus yang sudah dimakan tentunya (biar tidak rugi he .. he.. he..).   Biarkanlah di tempat terbuka (tidak terkena sinar matahari secara langsung) selama 2 – 3 hari, apakah yang kamu temukan …..
Bonggol jagung tersebut pada umumnya akan terkontaminasi oleh jamur oncom, sehingga warnanya menjadi jingga.  Di luar labortorium N. crassa juga terkenal sebagai kontaminan bagi pabrik pengolahan makanan seperti bakeri (roti), karena dapat menimbulkan kerusakan pada produk yang dihasilkan.
Kapang dari genus Neurospora telah lama diketahui dan telah dipelajari sejak 1843.  species N. crassa telah banyak digunakan di dalam penelitian laboratorium sejak 1941.  Pertumbuhan jamur ini yang sangat pesat, warna jingganya yang khas, serta bentuk spora (konidia) yang berbentuk seperti tepung merupakan ciri-ciri khas kapang ini.
Di negara subtropis dan  tropis, makanan fermentasi dari kapang  telah banyak ditemukan di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.  Rhizopus, Amylomyces, Mucor, Monascus dan Neurospora telah berperan sebagai mikoflora. Dalam kehidupan sehari-hari kapang Neurospora telah memegang peranan penting terutama dalam pengolahan makanan  fermentasi.  Kapang Neurospora telah dimanfaatkan untuk membuat oncom yang sangat populer bagi masyarakat Jawa Barat.  Di Brazil, Neurospora telah digunakan dalam proses pengolahan singkong menjadi minuman fermentasi.  Menurut Pandey, A. 2004, dalam Concise encyclopedia of bioresource technology, penerbit The Haworth Press:  Beberapa strain dari Neurospora crassa, dapat mengkonversi selulosa dan hemiselulosa menjadi ethanol.

 
biakan (culture) Neurospora crassa dalam cawan petri
 
bentuk dari spora Neurospora (perhatikan guratan-guratan di permukaan spora tsb.)

 
Bentuk askospora dari N. crassa


Foto mikroskopik Neurospora crassa dengan SEM dari spora yang telah berkecambah

Jamur Roti (Rhizopus nigricans)


Jika roti lembab disimpan di tempat yang hangat dan gelap, beberapa hari kemudian akan tampak jamur tumbuh diatasnya. Spora yang berkecambah pada permukaan roti akan membentuk massa yang bercabang, berwarna perak dengan hifa tidak bersekat. Dalam beberapa hari, miselium akan menutupi permukaan roti dari rhizoidnya menembus kedalam roti.
Gambar 1.1: Perkembangan jamur dalam Roti
Rhizoid menyekresikan enzim pencernaan yang bekerja menguraikan gula dan tepung yang berada dalam roti. Gula dan tepung tersebut kemudian diserap oleh rhizoid kedalam hifa. Pada roti akan terjadi perubahan warna, bau, dan rasa yang ditimbulkan oleh jamur yang disebabkan terjadinya perubahan senyawa kimia hasil aktivitas enzim.

Pada roti akan tumbuh bulatan hitam yang disebut sporangium yang dapat menghasilkan sekitar 50.000 spora. Sporangium dibentuk pada ujung sporangiofor. Jika sporangium matang, dinding pelindung yang tipis pecah dan spora tersebar. Spoa tersebut disebut spora aseksual dan reproduksi yang terjadi adalah secara aseksual. Reproduksi seksual terjadi juga didalam jamur roti dengan cara konjugasi.

Gambar 1.2: reproduksi Seksual
Secara garis besar tahap tahap konjugasi adalah sebagai berikut:
a.Hifa yang kelihatannya serupa memiliki sifat fisiologis yang berbeda dan biasanya diberi tanda positi (+) dan negatif (-). Hifa tidak dapat dibedakan menjadi hifa jantan dan hifa betina. Hifa yang bermuatan positif dan negatif tersebut bercabang pendek dan dinamakan gametangium.
b.Gametangium positif (+) bersinggungan dengan gametangium negatif (-).
c.Terjadi peleburan antara kedua gametangia sehingga terbentuk zigosporangium yang diploid(2n).
d.Ukuran zigosporangium bertambah besar dan kemudian memasuki masa dormansi.
e.Setelah beberapa bulan, jika kondisi lingkungan cukup baik, zigosporangium berkecambah. Kemudian, membentuk sporangium untuk menghasilkan spora seksual. Pembentukan spora tersebut terjadi secara meiosis.
f.Spora tersebar, jika jatuh di tempat yang sesuai akan tumbuh dan berkembang menjadi hifa (individu baru).

Jumat, 05 Oktober 2012

Fairy: JIHAD INTELEKTUAL : MERUMUSKAN PARAMETER-PARAMETER...

Fairy: JIHAD INTELEKTUAL : MERUMUSKAN PARAMETER-PARAMETER...: JIHAD INTELEKTUAL ( Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam) oleh Ziauddin Sardar REVIEW BUKU Diajukan Untuk Memenuhi Sal...

JIHAD INTELEKTUAL : MERUMUSKAN PARAMETER-PARAMETER SAINS ISLAM OLEH ZIAUDDIN SARDAR



JIHAD INTELEKTUAL ( Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam) oleh Ziauddin Sardar


REVIEW BUKU


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mandiri
Mata Kuliah : Keterpaduan Islam Dan Iptek
Dosen Pengampu :  Edy Chandra, S.Si., M.A








NANI KANIA
(59461197)


Jurusan Tadris IPA Biologi B/ VII
Fakultas Tarbiyah


KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI  (IAIN) SYEKH  NURJATI CIREBON
2012







BAB I
LATAR BELAKANG

Islam telah menjadi puing-puing dihadapan keperkasaan peradaban Barat. Cara pandang yang memperhadapkan Islam secara dikotomis dengan Barat ini menyebabkan sardar melakukan perlawanan. Ziauddin Sardar adalah intelektual muslim yang juga Penulis dalam pemikiran Islam kontemporer, sains, dan juga seorang kritikus budaya, juga termasuk salah satu penulis Islam progresif, bahkan ada yang menyebut beliau seorang utopis, dan generalis. Lelaki kelahiran Pakistan (Punjab) 1951 ini besar di Hackneyh, kawasan timur London, dan bermukim di Inggris.
Sardar pernah menjadi fenomena tersendiri dalam intelektualisme Islam pada era 1980-an, bersama koleganya Parvez Manzoor, Gulzar Haider, atau Munawar Ahmad Anees, karena mempelopori munculnya suatu gerakan kesarjanaan baru kaum muslimin di Barat. Dimana dalam gerakan tersebut memadukan sekaligus tradisi intelektuaslime dan aktivisme. Hal ini berbeda dengan tokoh-tokoh intelektual muslim generasi sebelumnya seperti Syed Hossein Nasr, Ismail Raji Faruqi, atau Fazlur Rahman yang umumnya bekerja di universitas-universitas terkemukan Barat terkemuka sebagai “ahli Islam” dan mencapai karir personal yang cemerlang sehingga secara pribadi-pribadi mereka memperoleh karir personal yang cemerlang dan mendapat penghormatan intelektual yang tinggi.
Tentang tema yang akan dibahas nantinya sebagian besar berasal dari tulisan Sardar pada majalah Afkar Inquiry yang merupakan jurnal akademis Islam yang begitu eksperimental antara tahun 1984-1986, karena visinya dan mempelopori dikembangkannya diskursus akademis mengenai isu-isu tentang perlunya Islam direkonstruksi sebagai peradaban.
Gerakan cemerlang Sardar tentang rekonstruksi peradaban muslim harus dipahami sebagai vis-à-vis dalam hubungan dengan dominasi peradaban Barat. Karena Islam harus direkonstruksi sebagai peradaban, karena sebagai peradaban juga Islam telah menjadi puing-puing dihadapan keperkasaan peradaban Barat. Karenanya hanya dengan sebuah rekonstuksi peradaban Islam bisa mewujudkan diri sebagai perangkat keras dari pengalaman sejarahnya, dan dengan cara inilah Islam akan lebih bermakna.
Inferioritas dihadapan peradaban barat ini berlaku di semua sektor, mulai dari sektor keilmuan, teknologi, pendidikan, kedokteran, lembaga-lembaga sosial dan ekonomi, hingga ke sektor-sektor lain seperti pemikiran politik dan kebudayaan. Dalam perspektif demikian, Sardar menilai Islam harus di rekonstruksi sebagai peradaban, karena hanya dengan itu Islam bisa mewujudkan diri sebagai manifestasi kebudayaan dan nilai-nilai nya sendiri sebagai perangkat keras dari pengalaman sejarahnya, sebagai instrumen pragmatis dari sistem filsafatnya atau singkatnya sebagai manifestasi eksternal dari pandangan dunia nya.
Kendati demikian bahwa problem-problem yang dikemukakan menyangkut alternatif Islam terhadap Barat dalam skala rekonstruksi peradabannya itu bagi kita Indonesia adalah suatu formulasi yang masih terlalu asing. Namun bagaimanapun editor berharap bahwa pemikiran sardar ini mendapatkan lahan yang subur terutama dikalangkan pemikir filsafat dan kebudayaan islam di Indonesia.
Penjelasan yang diungkapkan oleh Ziauddin Sardar sebagai salah satu tokoh pencetus ide tentang sebuah rekonstruksi peradaban muslim dalam menghadapi dominasi sains Barat mengungkapkan bahwa :
Sains Islam tidak semata-mata dilihat dari nilai itu sendiri melainkan tunduk pada matriks-matriks nilai-nilai abadi. Tidak seperti sains yang berkembang di Barat dimana cenderung tidak netral dan bebas nilai, dan berusaha mengembangkan imperialisme budaya, oleh karena itu intelektual dan kaum pemikir dikalangan Islam harus merumuskan paradigma sains Islam yang dapat mengungguli sains Barat dan tentunya berupaya mengembangkan nilai-nilai pandangan Islam dalam sains tersebut, dengan hanya semata-mata mencari keridhaan Allah Swt.
Selanjutunya alih-teknologi yang berkembang dari peradaban Barat yang kemudian dinikmati masyarakat Islam sendiri, tidak harus disikapi dengan pasif, namun harus dicarikan alternatif teknologi guna menjadi solusi terbaik bagi pengembangan teknologi Islami, dimana masyarakat muslim harus mampu berperan banyak didalamnya dan tidak hanya sebagai penikmat teknologi.
Jihad Intelektual : Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam oleh Ziauddin Sardar merupakan buku hasil editor dan terjemahan oleh AE Priyono. Buku ini merupakan cetakan kedua yaitu pada tahun 2000 yang memilki hak penerbitan oleh Risalah Gusti Surabaya. Buku ini terdiri dari 8 bab dengan jumlah halaman 154 halaman, dilengkapi dengan daftar isi, pengantar editor, bacaan yang disarankan dan indeks buku.
Adapun sistematika pokok bahasan dari setiap bab, sebagai berikut : pada Bab I berjudul “Membangun Kembali Peradaban Muslim” terletak pada halaman 1-18. Bab II berjudul “Jihad Intelektual : Kaum Cendekiawan Muslim dan Tanggung Jawab Mereka” terletak pada halaman 19-34. Bab III berjudul  “Islamisasi Ilmu Pengetahuan atau Westernisasi Islam?” terletak pada halaman 35-37. Bab IV berjudul “Perlunya Sains Islam” terletak pada halaman 59-64. Bab V berjudul “Ilmu Kedokteran dan Metafisika : Sebuah Reorintasi Islam” terletak pada halaman 65-90. Bab VI berjudul “Merumuskan Kembali Konsep Universitas Islam” terletak pada halaman 91-111. Bab VII berjudul “Ilmu Pengetahuan dan Nilai: Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam” terletak pada halaman 113-131. Dan Bab VIII berjudul “Teknologi dan Kemandirian Domestik : Sebuah Alternatif Islam” terletak pada halaman 133-154.
Suatu pengantar dalam buku yang berjudul Jihad Intektual : Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam ini disampaikan oleh AE Priyono, bahwa buku ini merupakan kumpulan tulisan Ziauddin Sardar, seorang intelektual muslim kelahiran Pakistan yang kini bermukim di inggris. Tulisan ini berisikan semangat inovasi menuju paradigma ilmu pengetahuan islam yang multi visi satu visi, namun mengalami proses perdebatan yang panjang di kalangan cendekiawan Muslin sendiri. Kaum intelektual garda depan sendiri seperti Ziauddin Sadar dalam karya-karya ijtihadnya, menawarkan berbagai rekayasa epistemologis dan eksiologis yang diharapkan menjadi manual bagi pembangunan peradaban islam masa depan. Sardar, membangun visi tersendiri yang turut mewarnai agenda-agenda islam kontemporer.


BAB II
POKOK PIKIRAN PENTING

A. Membangun Kembali Peradaban Muslim
Rekonstruksi peradaban muslim secara esensial merupakan suatu proses elaborasi pandangan-dunia Islam. Peradaban muslim tidak lebih ditentukan oleh masa sejarah atau ruang geografi tertentu ketimbang oleh ajaran-ajaran Qur’an dan Sunnah. Peradaban muslim merupakan sebuah kontinum sejarah: ia ada pada masa lampau, ada pada masa kini, dan akan ada di masa depan. Setiap langkah menuju masa depan memerlukan elaborasi lebih jauh mengenai pandangan dunia Islam, sebuah invokasi atas prinsip-prinsip dinamis ijtihad yang memungkinkan peradaban muslim mampu mendengarkan situasi-situasi yang selalu berubah.
            Secara esensial kita sedang menghadapi tujuh tantangan besar. Tidak ada satupun diantaranya yang bisa ditangani secara terpisah. Peradaban muslim digambarkan dalam skema berbentuk bunga, dari situ dapat di identifikasi tujuh bidang yang memerlukan elaborasi. Pada pusat bunga terletak pandangan –pandangan Islam. Pusat inti yaitu epistemologi dan syariah. Empat daun bunga primer terdiri dari struktur sosial dan politik, kegiatan ekonomi, sains dan teknologi, serta lingkungan.
Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan, memang tidak lebih dari ekspresi suatu pandang – dunia. Tanpa epistemologi yang jelas mustahil muncul suatu peradaban. Syariah, hukum islam, juga merupakan Concern pragmatis, syariah lebih dari teologi, merupakan kontribusi primer peradaban muslim terhadap perkembangan umat manusia.
Proses rekonstruksi peradaban muslim sama artinya dengan menghadapi tujuh tantangan yang sudah dikemukakan. Proses ini tidak menyangkut “ mengislamkan” disiplin ini atau itu, tetapi memasukan ekspresi-ekspresi eksternal peradaban muslim kedalam mode epistemologis islam dan metodologi syariah. Ini mencakup pengelaborasian pandangan dunia islam dan pemanfaatan matriks konseptual, yaitu tepat dari jantung Qur’an dan Sunnah.

B. Jihad Intelektual : Kaum cendekiawan muslim dan tanggung jawab mereka
            Para sarjana dan cendekiawwan muslim mempunyai peranan vital untuk menghilangkan ketidakadilan dan penindasan baik yang terdapat pada masyarakat-masyarakat muslim maupun masyarakat lain di dunia. Tetapi jika mereka ingin memperoleh kepercayaan dan respek dari umat , mereka harus mencurahkan tanggung jawab mereka secara lebih serius dan menunjukkan perhatian yang positif terhadap kebudayaan dan nilai-nilai pandangan dunia islam. Mereka harus memperjuangkan kebenaran dan keadilan sebagai pejuang yang bebas sambil memodifikasi karakter dan ciri intelektual mereka untuk memenuhi kebutuhan dan tuntunan masyarakat kontemporer.

C. Islamisasi Ilmu Pengetahuan atau Westernisasi Islam ?
Ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari pandangan-dunia dan sistem keyakinan. Dari pada “meng-Islamkan” disiplin-disiplin yang telah berkembang dalam miliu sosial, etik dan kultural Barat, kaum cendekiawan muslim lebih baik mengarahkan energi mereka untuk menciptakan paradigma-paradigma islam, karena dengan itulah tugas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan urgen masyarakat muslim bisa dilaksanakan.
Usaha-usaha memusatkan diri di sekitar masalah islamisasi ilmu pengetahuan. Dua orang sarjana terkemuka yang telah memberikan sumbangan berharga adalah Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi. Al-Attas dalam tulisannya yang berjudul “ The De- Westernisaction of Knowledge” dia mengajukan suatu kriktik terhadap epistemologi Barat, dia mengatakan bahwa skeptisisme yang tidak mengenal batas-bats etik dan nilai dari sistem ilmu pengetahuan barat  adalah merupakan antitesa terhadap epistemologi islam.
Adapun Lima sasaran rencana kerja al-Faruqi untuk Islamisasi Ilmu Pengetahuan
1.      Menguasai disiplin-disiplin modern.
2.      Menguasai khazanah Islam.
3.      Menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern.
4.      Mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern.
5.      Mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola-rancangan Allah.
Menurut Faruqi, sasaran di atas bisa dicapai melalui 12 langkah sistematis yang pada akhirnya mengarah pada Islamisasi ilmu pengetahuan.
·     Langkah 1: Penguasaan terhadap disiplin-disiplin modern. Al-Faruqi mengatakan, bahwa disiplin-disiplin modern harus dipecah-pecah menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problem-problem dan tema-tema pemilah-milahan yang mencerminkan “daftar isi” suatu buku teks klasik.
·  Langkah 2: Survei disipliner. Jika kategori-kategori dari disiplin ilmu telah dipilah-pilah, suatu survei menyeluruh harus ditulis untuk setiap disiplin ilmu. Langkah ini diperlukan agar sarjana-sarjana muslim mampu menguasai setiap disiplin ilmu modern.
·   Langkah 3: Penguasaan terhadap khazanah Islam. Khazanah Islam harus dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi di sini, apa yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikiran muslim yang berkaitan dengan setiap disiplin.
·  Langkah 4: Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisa. Jika antologi-antologi sudah disiapkan, khazanah pemikiran Islam harus dianalisa dari perspektif masalah-masalah masa kini.
·   Langkah 5: Penentuan relevansi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevansi ini, kata Faruqi, dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan: Pertama adalah, apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari Qur’an hingga pemikiran-pemikiran kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup oleh disiplin-disiplin modern? Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin-disiplin modern tersebut? Sampai di mana tingkat pemenuhan, kekurangan, serta kelebihan khazanah Islam itu jika dibandingkan dengan visi dan scope disiplin-disiplin modern? Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau bahkan sama sekali tidak diabaikan oleh khazanah Islam, ke arah manakah kaum muslim harus berusaha mengisi kekurangan itu, juga untuk mereformulasi masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut?
·   Langkah 6: Penilaian kritis terhadap disiplin modern. Jika relevansi Islam untuk semua disiplin sudah disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam.
·   Langkah 7: Penilaian kritis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan.
·      Langkah 8:  Survei mengenai problem-problem terbesar ummat Islam. Suatu studi sistematis harus dibuat tentang masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual, kultural, moral dan spiritual dari kaum muslim.
·    Langkah 9: Survei mengenai problem-problem ummat manusia. Suatu studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh ummat manusia, harus dilaksanakan.
·     Langkah 10: Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini para sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesa antara khazanah Islam dan disiplin-disiplin modern, serta untuk “menjembatani jurang kemandegan berabad-abad”. Dari sini khazanah pemikiran Islam “harus tetap sinambung dengan prestasi-prestasi modern, dan harus mulai menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas daripada yang sudah dicapai oleh disiplin-disiplin modern”.
·   Langkah 11: Merumuskan kembali disiplin-disiplin di dalam kerangka Islam. Sekali kesinambungan antara khazanah Islam dan disiplin-disiplin modern telah dicapai, buku-buku teks universitas harus ditulis untuk menuang kembali disiplin-disiplin modern dalam cetakan Islam.
·     Langkah 12: Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamisasikan. Karya intelektual yang sudah diproduk dari langkah-langkah sebelumnya harus digunakan untuk membangkitkan, menerangi dan memperkaya ummat manusia.

D. Perlunya Sains Islam
Islam bukan sekedar agama namun lebih jauh, Islam menjelaskan dirinya sebagai Din; Suatu deskripsi menyeluruh melebihi pengertian tradisional tentang agama kebudayaan dan peradaban. Dimana Islam juga memuat suatu sistim politik dan metode organisasi sosial yang hidup dan dinamis.
Sistim ini bermuatan struktur yang utuh meliputi sebuah matriks mengenai nilai-nilai dan konsep-konsep abadi yang hidup dan realistis sehingga memberikan karakter yang unik bagi peradaban dan pandangan dunia Islam. Nilai-nilai ini akan memberikan parameter-parameter bagi masyarakat muslim dan sekaligus petunjuk bagi peradaban Islam untuk mencapai nasibnya yang manifes.
Di dalam lingkaran (cordon) nilai-nilai dan konsep-konsep seperti; Tauhid, Khilafah, Akhirat, Ibadah, Ilm dan Istishlah (kepentingan umum), dimana sepanjang sejarah Islam telah dimanifestasikan nilai-nilai tersebut melalui berbagai cara sesuai dengan kondisi sejarah dan lingkungannya, akan tetapi tetap mempertahankan karakteristiknya yang unik dan abadi.
Masyarakat muslim kontemporer memiliki kebutuhan-kebutuhan dan kondisi-kondisi khusus yang perlu disesuaikan dengan pandangan dunia Islam, dimana semua kebutuhan harus menurut struktur nilai Islam. Dengan demikian metode, proses dan sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini bagi masyarakat muslim kontemporer harus merupakan pencerminan dari perwujudan kebudayaan dan nilai-nilai Islam. Demikian juga dengan Sains sebagai sarana paling penting untuk memecahkan problem-problem manusia serta untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya harus berada dalam sirkumferensi (lingkaran) nilai-nilai dan konsep-konsep Islam yang abadi.
Sains adalah apa yang dilakukan atau dikerjakan oleh ilmuwan untuk memecahkan masalah dimana lebih dititikberatkan pada bidang-bidang yang telah dirumuskan sesuai dengan kerangka nilai peradaban modern. Sains yang beroperasi dalam struktur nilai Islam memiliki proposisi yang berbeda dibandingkan dengan sains sebagaimana yang dipraktekkan pada masa sekarang ini. Sains modern tidak berkepentingan untuk mengejar kebenaran objektif maupun gagasan platonik, tetapi sebagai suatu sistim pemecahan masalah yang bersifat paradigmatik.
Salah satu penemuan paling penting yang ditunjukan oleh karya Sayyed Hossein Nasr tentang sains Islam yang dipandang sebagai sebuah tradisi ilmiah dan intelektual yang independen, adalah bahwa tidak ada suatu metode pun yang digunakan dalam sains itu yang mengenyampingkan metode-metode lainnya. Sebaliknya sains Islam senantiasa berupaya untuk menerapakan metode-metode yang berlainan sesuai dengan watak subyek yang dipelajari dan cara-cara memahami subyek tersebut. Para ilmuan Muslim, dalam menanamkan dan mengembangkan beraneka ragam sains, telah menggunakan setiap jalan pengetahuan yang terbuka bagi manusia, dari rasiosinasi dan interpretasi Kitab Suci hingga observasi dan eksperimentasi.
Tidak ada yang netral dan bebas-nilai dalam sains modern, karena prioritas-prioritasnya, penekanannya, metode dan prosesnya serta pandangan-dunianya merefleksikan kepentingan masyarakat dan kebudayaan Barat, dimana sains semata-mata digunakan untuk mengejar keuntungan dan jumlah produksi untuk mengembangkan militer dan perlengkapan-perlengkapan perang, serta dominasi ras manusia terhadap ras manusia lainnya. Sehingga dalam sistim Barat sains itu sendiri merupakan nilai tertinggi sehingga segala-galanya harus dikorbankan pada altar sains.
Sementara dalam Islam sangat berbeda karena pencarian ilmu pengetahuan (ilm) hanya bermakna jika ilmu pegetahuan yang dicari menurut pandangan dunia-Islam adalah mencari karunia Allah. Dengan demikian sains dalam Islam bukanlah nilai itu sendiri, tetapi tunduk pada matriks nilai-nilai abadi. Oleh karena itu sains jelaslah tidak bebas nilai, berbeda dengan sains di Barat yang berupaya mengembangkan nilai-nilai kebudayaan dan peradaban Barat, sementara sains Islam mengembangkan nilai-nilai pandangan Islam, misalnya dalam penggalian ilmu pengetahuan disamakan dengan Ibadah, artinya ilmu pengetahuan itu harus dicari dalam kerangka yang relevan dengan nilai-nilai lain seperti keadilan, kepentingan umum dan sebagainya.
Namun perlu diingat bahwa tidaklah bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan itu sendiri adalah suatu kebajikan seperti dalam paham Aristotelian, karena tidak semua pencarian ilmu pengetahuan dalam Islam merupakan ibadah. Rasulullah Saw, secara tegas pernah mengatakan ketika beliau mengetahui bahwa meskipun Astrologi sebenarnya adalah bagian dari ilmu pengetahuan, tetapi keburukannya lebih besar daripada kebaikannya. Oleh karena itu kita membutuhkan sains Islam karena kebutuhan-kebutuhan, prioritas-prioritas dan perhatian masyarakat muslim berbeda dengan apa yang dimiliki oleh peradaban Barat, disamping itu peradaban Islam tidak akan sempurna tanpa memiliki suatu sistim objektif untuk memecahkan masalah yang terakumulasi sesuai dengan paradigmanya masing-masing. Tanpa sains Islam dan masyarakat muslim hanya akan menjadi bagian dari kebudayaan dan peradaban Barat. Singkatnya kita tidak akan memiliki masa depan yang jelas tanpa sains Islam.

E. Ilmu Kedokteran dan Metafisika : Sebuah Reorientasi Islam
Dalam ilmu kedokteran dan metafisika, sistem ilmu kedokteran mengasalkan legitimasinya pada pandangan dunia-dunia nya. Ilmu kedokteran Barat adalah saudara kandung dari pandangan dunia yang reduktif, arogan dan kapitalistik dari peradaban barat. Berhadapan dengan sistem ilmu kedokteran yang seperti itu, ilmu kedokteran Islam hanya akan memperoleh format kontemporernya jika ia berhasil menjadi alternatif bagi sistem ilmu kedokteran barat yang kini sedang menempuh jalan bunuh diri.
Perbedaan utama antara ilmu kedokteran Barat dengan ilmu kedokteran Islam terletak pada pandangan-pandangan metafisis. Ilmu kedokteran Islam tidak menganggap dirinya sebagai komoditi, tetapi sebagai kewajiban sosial yang harus dipenuhi atas dasar perintah agama. Sarjana-sarjana seperti Ibnu Sina dan ar-Razi tidak mengandalkan penghidupan mereka dari praktek sebagai dokter tetapi dari kesarjanaan mereka. Hampir semua dokter muslim klasik adalah juga filosof, mereka mengombinasikan ilmu kedokteran dengan metafisika.
Sementara pandangan dunia barat secara epistemologis melepaskan masyarakat dari ilmu kedokterannya, ilmu kedokteran Islam menjadikan masyarakat sebagai titik sentralnya. Metodologi ilmu kedokteran Barat adalah reduksi. Sementara ilmu kedokteran islam seraya mengakui pentingnya pemikiran reduktif –deskripsi dan analisa ar-Razi mengenai penyakit cacar belum pernah tertandingi oleh pisau bedah pemikiran dan analisa reduktif manapun.
Muhammad ali mendirikan sekolah Qasr al-Aini untuk melayani kesehatan penduduk mesir. Sebelum datang nya penguasa inggris, baik kawasan diperkotakan maupun pedesaan memilki pelayanan kesehatan yang memadai, dimana pasien dirawat dengan gratis. Akan tetapi dibawah Inggris, pelayanan kesehatan dikawasan pedesan berangsur-angsur dihilangkan, dikawasan perkotaan pun sistem kedokteran barat hanya bermanfaat bagi mereka yang mampu membayar.
Kendati demikian, dalam jangka panjang dibangkitkannya kembali ilmu kedokteran Islam akan menjadi satu-satunya solusi untuk memecahkan problem kesehatan dunia muslim. Sebuah peradaban tidak dapat diharapkan bisa hidup terus secara fisik, psikologi maupun intelektual jika sistem kesehatan dan ilmu kedokterannya tidak didasarkan pada pandangan duni-dunia nya sendiri.

F. Merumuskan Kembali Konsep Universitas Islam
            Dengan basis ilmu pengetahuan dari peradaban muslim, sebuah universitas islam harus merefleksikan sifat serta karakteristik-karakteristik konseptualnya yang esensial didalam struktur institusional dan organisaionalny. Universitas islam harus menjadi semacam mikro-kosmos peradaban musli, disamping tentu saja, menjadi instrumen untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan riset dan intelektual masyarakat muslim kontemporer. Pada inti pusat setiap universitas harus ada semacam program riset dan pengembangan yang ditujukan untuk dan kontemporisasi konsep-konsep esensial pandangan islam.
            Untuk menjadikan pemikiran tradisional relevan bagi masa kini dan masa depan, program riset dan pengembangan harus dibangun diatas suatu matriks konseptual: misalnya program tersebut harus memiliki “ departemen-departemen” yang khusus ditujukan untuk studi dan pemahaman kontemporer mengenai konsep kunci islam seperti Tauhid, Risalah, Khilafah, Ibadah, Adl, Istishlah, dan Syariah.
            Terlepas dari program inti tersebut, suatu universitas harus mencakup semua bidang ilmu pengetahuan  yang sesuai dengan keperluan dan kebutuhan peradaban muslim. Untuk memberikan kepada institusi ini suatu struktur yang bisa dimengerti menurut term-term modern, harus menganalisa kebutuhan masa kini dan masa depan peradaban sesuai dengan kategori yang sudah dikenal seperti ilmu-ilmu ideasional, ilmu-ilmu saintifik (alam), ilmu-ilmu teknologikal, ilmu-ilmu informasional, ilmu-ilmu organisasional, ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kultural.

G. Ilmu pengetahuan dan nilai : Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam
Untuk merumuskan parameter-parameter sains Islam pada konteks kekinian, perlu kiranya dikembangkan solusi-solusi yang viable dalam kaitannya dengan krisis sains Barat. Meskipun demikian realisasi kontemporer dari sains Islam harus didasarkan pada suatu kerangka nilai yang menjadi karakteristik-karakteristik dasar kebudayaan Islam.
Perdebatan panjang dikalangan ilmuwan-ilmuwan muslim tentang “Sains Islam” telah memberikan garis-garis besar pengembangan sains dikalangan masyarakat muslim, dimana kebijakan tersebut memungkinkan diserapnya manfaat yang berharga dari sains dan teknologi tanpa menjual nilai dan kebudayaan Islam, serta yang mampu memberikan bentuk yang hidup dan dinamis kepada filsafat dan pandangan dunia Islam.
Fenomena yang muncul kemudian adalah bahwa sains, teknologi dan masyarakat, dalam setiap interaksinya senantiasa menemukan masalah yang kerap muncul dalam skala dan kompleksitas yang luas, sehingga solusi-solusi praktis yang ditawarkan tampak surut dalam kabut konstrain-konstrain lingkungan, ekonomis dan politis. Sungguh sebuah persoalan yang paling signifikan yang sedang dihadapi ummat manusia saat ini.
Selain itu krisis atas sains diwarnai oleh “sang ilmuwan” (the scientist) -sebagai seorang peneliti yang berdedikasi tinggi- dalam pengamatan para filososf, kini tidak lagi bertugas mengumpulakan fakta-fakta, seperti mengumpulkan kerikil dipantai, namun mereka justru menyelidiki masalah-masalah. Thomas S Khun misalnya, pernah mengatakan bahwa banyak ilmuwan merasa puas karena menganggap telah “memecahkan teka-teki di dalam sebuah paradigma”, dan ketika paradigma itu hancur karena datangnya revolusi ilmu pengetahuan (baca: Revolusi Ilmiah), banyak dari teka-teki yang dianggap sudah dipecahkan itu muncul kembali.
Selanjutnya seperti dikatakan oleh Jerome Ravetz, Guru Besar sejarah dan filsafat ilmu di Universitas of Leeds, mengemukakan bahwa krisis yang terjadi di dalam sains telah menimbulkan sejumlah paradoks, salah satunya yang paling besar adalah “para idelog sains Barat yang telah memaksakan pengaruh mereka selama berabad-abad dengan menyatakan bahwa apa yang dilakukannya demi kepentingan signifikansi manusia dengan membuatkan landasan-landasan nilai, sementara pada saat yang sama menghindari biaya dan tanggungjawab dari signifikansi itu dengan menganggap bahwa pekerjaan mereka pada dasarnya tidak mungkin bisa dikaitkan dengan komitmen-komitmen nilai.
Hal ini dikuatkan dengan pendapat Ilmuan Islam seperti Syed Muhammad an-Naquib al-Attas dari Universitas Nasional Malaysia, yang dimuat dalam papernya “The De-Westernisation on Knowledge”. Inti argumen al-Attas adalah; ilmuwan-ilmuwan dan teknolog-teknolog muslim yang bekerja menurut sistim ilmu pengetahuan Barat, hanya akan memajukan nilai-nilai dan ketegangan batin dari kebudayaan dan peradaban Barat. Sains seperti ini tidak pernah akan diinternalisasikan oleh ummat Islam, dikarenakan tidak akan berakar pada epistimologi dan sistim nilai Islam –sebuah sains yang dapat diinternalisasikan dan bisa mengekspresikan tanggugjawab sosial kaum muslim- sungguh akan menjadi sebuah kebutuhan yang sangat mendesak.
Untuk menjawab permasalahan ini, sarjana-sarjana muslim dan Barat dalam seminar “Islam and the West”, telah saling sepakat bahwa realisasi kontemporer dari sains Islam harus didasarkan pada suatu kerangka nilai yang merupakan karakteristik-karakteristik dasar kebudayaan Islam itu sendiri, diantaranya:
  1. Tauhid (baca:Keesaan Tuhan) : Konsep ini merupakan sebuah nilai yang all-embracing jika kemudian ditegaskan menjadi kesatuan ummat manusia, kesatuan antar manusia dan alam, dan kesatuan antara ilmu pengetahuan dan nilai.
  2. Khilafah: Bahwa manusia tidaklah independen dari Tuhan, tapi bertanggungjawab kepada Tuhan baik dalam kegiatan ilmiah maupun teknologisnya, konsep ini mengandung implikasi bahwa manusia tidak mempunyai hak eksklusif, tetapi bertanggungjawab untuk memelihara dan menjaga keselarasan tempat kediamannya di Bumi. 
  3. Ibadah: Dengan melakukan kewajiban Kontemplasi (Ibadah), kesadaran mengenai Tauhid dan Khilafah akan timbul, dan berperan sebagai faktor yang mengintegrasikan kegiatan ilmiah dengan sistim nilai Islam. Sebab jika orang mencari ilmu pengetahuan untuk melakukan eksploitasi dan dominasi terhadap alam, pasti dia akan menjadi pengamat pasif.
  4. Ilm (baca: ilmu) : Konsep mengenai ilmu pengetahuan ini merupakan konsep yang paling banyak ditulis dan diperbincangkan oleh seluruh pengarang muslim klasik dari al-Kindi (801-873), al-Farabi (w.950), al-Biruni (937-1048) sampai al-Ghazali (w.1111) dan Ibn Khaldun (1332-1406) telah merumuskan klasifikasi-klasifikasi pokok mengenai ilmu pengetahuan tersebut menjadi dua kategori, yaitu; ilm yang diwahyukan (wahyu), yang menyediakan kerangka etika dan moral; dan ilm yang tak diwahyukan (non-wahyu), yaitu yang pencariannya yang menjadi kewajiban bagi kaum muslim di bawah petunjuk Ibadah.
  5. Halal dan Haram : Konsep ini menjadi relevan, yang mencakup semua yang bersifat destruktif bagi manusia sebagai individu dalam lingkungannya yang dekat, maupun lingkungan yang luas. Destruktif dalam pengertian fisik, mental dan spiritual. Dilain pihak semua yang bermanfaat untuk seorang individu, masyarakat dan lingkungannya adalah Halal. Dengan demikian suatu tindakan yang halal tentu membawa manfaat bagi individu, bisa saja mempunyai efek-efek yang berbahaya, baik bagi masyarakat, lingkungan, atau keduanya. Inilah mengapa halal harus bekerja diatas premis-premis distribusi keadilan sosial (adl). Sedangkan haram selalu akan menimbulkan zulm (kezaliman), dan tirani.
  6. Adl (keadilan sosial) : Demikianlah, kegiatan ilmiah dan teknologis yang berupaya memajukan adl (keadilan sosial) adalah Halal, sementara sains dan teknologi yang menimbulkan alienasi dan dehumanisasi, dimana konsentrasi kekayaan ditangan segelintir orang, pengangguran dan kerusakan lingkungan, adalah zalim (tiranik), oleh karena itu dinilai Haram.
  7. Zulm (tirani): Karakteristik dari teknologi yang zalim adalah bersifat boros sumber daya manusia, sumberdaya lingkungan dan sumber daya spiritual, dan dikategorikan sebagai sains dan teknologi yang memajukan keadilan sosial (adl) merupakan sumber suplementer terpenting dari hukum Islam.
  8. Istishlah (kepentingan umum) : Disinilah sebuah definisi mengenai sains Islam bisa diformulasikan dalam term kerangka nilai-nilai Qur’ani. Paradigma-paradigma sains Islam tersebut, adalah konsep-konsep Tauhid, Khilafah, Ibadah, yang bekerja dengan perantara Ilm untuk memajukan keadilan sosial (adl) dan kepentingan umum (istishlah), kemudian berkaitan dengan konsep-konsep yang lainnya.
Demikianlah tanggungjawab seorang ilmuwan muslim yang meliputi tanggungjawab yang sosial dan spiritual, dan sains Islam yang bertanggungjawab mengembangkan kesadaran ketuhanan; mengharmoniskan tujuan dan cara, dalam mencari ilmu pengetahuan; memperhatikan relevansi sosial dalam pencarian maupun penererapan ilmu pengetahuan; serta, menolak netralitas pengetahuan objektif.

H. Teknologi Kemandirian Domestik : Sebuah Alternatif Islam
Munculnya teknologi Barat telah memperkenalkan semacam penjajahan gaya baru bagi negara-negara muslim, betapa tidak justru teknologi tersebut diimpor seakan menjual masa depan mereka. Evolusi dari sebuah alternatif Islam memerlukan penggabungan dan kerjasama sumber teknis dan intelektual dari dunia muslim seraya mengupayakan jawaban-jawaban lokal terhadap problem-problem lokal.
Teknologi inilah yang baru belakangan diperhatikan oleh kalangan intelektual muslim, setelah sempat terabaikan. Karena kurangnya pemikiran dari kalangan muslim mengenai sifat dan peranan teknologi dalam masyarakat yang dilahirkan dari keyakinan kuat bahwa semua teknologi adalah baik dan bisa diperoleh dari dari masyarakat-masyarakat industrial melalui berbagai cara. Ada anggapan bahwa dengan teknologi juga mampu mengubah keadaan masyarakat muslim dari masyarakat terbelakang menjadi masyarakat industrial. Dengan demikian masyarakat muslim lebih mencurahkan perhatian untuk memperoleh semua teknologi daripada merumuskan apa yang secara pasti menjadi kebutuhan masyarakat muslim, serta membangun kapabilitas internal untuk memproduk inovasi-inovasi teknologis yang diinginkan.
Keyakinan akan sifat baik teknologi ini begitu mendalam, begitu berpengaruh sampai munculnya anjuran bahwa masyarakat muslim harus mengambil manfaat penuh dari upaya alih-teknologi Negara-negara industri maju. Alasan ini diperkuat oleh Waqar Ahmad Husaini, yang pernah menawarkan pemikiran serius mengenai apa yang dinamakan “pola imitatif-inovatif modernisasi teknologis”. Dimana dalam salah satu kesimpulan yang bertentangan secara diametral, dikatakan bahwa sistim-sistim sains kaum muslim pada zaman pertengahan, dan sistim-sistim sains Barat pada zaman modern, termasuk Komunis, tumbuh melalui proses peminjaman dan asimilasi yang selektif, ini menunjukan bahwa masyarakat muslim secara lebih sempurna dapat lebih leluasa dan harus meminjam serta mengadaptasi prestasi kultural material dan teknologi dari bangsa-bangsa non-muslim yang lebih maju.
Kesimpulan yang naif dan keliru ini, bisa memperkuat keyakinan para pengambil keputusan dan kalangan intelektual muslim, karena kendatipun keuntungan-keuntungan yang diharapkan dari pengalihan teknologi ini, berupa peningkatan kehidupan, peningkatan produktivitas pertanian dan hasil-hasil industri, malah hampir tidak terlihat di dunia muslim. Karena teknologi yang dipinjam hampir tidak cocok untuk masyarakat muslim disamping sumber daya manusia yang tidak memadai, nampaknya suku cadangnya juga harus tergantung pada pemasoknya.
Alih teknologi ini tidak hanya menyebabkan negara-negara muslim tergantung pada negara-negara industri namun dapat mempengaruhi kebudayaan dan lingkungan muslim, buktinya pengaruh teknologi yang diterapkan dikota suci Mekkah dan Madinah, dan kawasan yang dipakai untuk ibadah haji, misalnya, dimana telah dirombak tanpa ampun, diputus dari akar-akar sejarahnya, oleh semacam teknologi brutal yang menghasilkan kerusakan dan kurangnya perhatian terhadap nilai-nilai kultural.
Sesungguhnya jika ditelisik lebih jauh, tidak ada yang salah dengan teknologi konvensional Barat jika orang menerimanya sebagai produk dari pandangan dunia dan kebudayaan sekuler. Jika masyarakat tidak punya penghargaan terhadap kebudayaan sendiri atau jika masyarakat berkeingingan untuk menerima sifat eksploratif teknologi Barat, maka pada batas-batas tertentu, ia tidak akan tunduk pada tuntutan-tuntutan masyarakat tersebut.
Selama ini argumen tentang pemilihan dan seleksi teknologi secara khusus digunakan oleh para penganjur dan pendukung teknologi alternatif, sebagai Contoh, K. D. Sharma dan M. A. Qureshi yang mengatakan bahwa gagasan teknologi alternatif didasarkan pada “pemilihan dan seleksi tes teknologi atau teknologi-teknologi dari seperangkat teknologi yang tersedia untuk memproduk barang dan komoditi serta untuk memenuhi kebutuhan”. Teknologi alternatif ini diseleksi dari sebuah spektrum teknologi-teknologi yang tersedia yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
1.    Bisa saja ia merupakan “teknologi primitif-primitif, rendah atau tinggi, atau antara teknologi primitif dan teknologi tinggi.
2.      Ia harus sesuai dengan sumber dengan tujuan-tujuan ekonomi, sosial, kultural dan politiknya.
3.      Secara environmental harus sehat
Pemilihan atas teknologi alternatif ini menurut Sharma dan Qureshi haruslah didasarkan pada dua kriteria, yakni sosial, ekonomi-kultural serta keamanan nasional dan prestise, dibawah kriteria yang pertama, teknologi-teknologi itu tampaknya harus diutamakan untuk yang padat karya, kecil, sederhana, serta yang menggunkan sumberdaya dan tenaga-tenaga terampil lokal untuk meminimalisasi anggaran. Sedangkan pada alternatif kedua yakni pada keamanan nasional dan prestise, tidak dilihat sebagai alternatif untuk bersaing dengan masyarakat-masyarakat industri dalam beberapa bidang teknologi yang besar dan kompleks dimana produksi masal sangat penting untuk memperoleh sasaran-sasaran politis dan keamanan strategis.
Permasalahan yang timbul kemudian, secara keseluruhan bahwa eksperimen-eksperimen teknologi alternatif telah menimbulkan kekecewaan, dimana kaitan antara teknologi dan masyarakat melalui dua cara, yakni; Pertama, terbukti bahwa satu-satunya teknologi yang benar-benar cocok untuk satu masyarakat adalah teknologi yang tumbuh dari masyarakat dan bisa berkembang tanpa bantuan luar apapun, sehingga lebih menjadi kreasi bumi dan hanya berkembang pada wilayah tertentu saja, dan Kedua, teknologi alternatif tidak bisa dikembangkan dari kerangka filsafat dan intelektual peradaban Barat. Sebagai contoh jika teknologi alternatif akan mereduksi produktifitas pada urutan determinan kedua, maka ilmu ekonomi Barat yang melihat konsumsi sebagai tujuan kegiatannya, harus diganti pula dengan suatu alternatif yang lebih jelas.
Hal terpenting yang harus disadari adalah tidak ada yang mampu menggoyahkan independensi teknologis, dan tidak mudah membendung serangan gencar dari gaya dan mode teknologi yang dominan. Meskipun solusi-solusi seketika hanya akan menunda apa yang tidak terelakkan dari pengaruh teknologi itu sendiri, dan berikutnya adalah bahwa kita harus memahami evolusi dan cara pemecahan masalah-masalah praktis ala muslim secara jelas dalam konteks yang lebih luas, yang tentunya tidak terpisahkan dari;
1.      Upaya untuk menemukan kembali sains Islam
2.      Mengembangkan ilmu ekonomi Islam yang viable (andal; dapat diandalkan)
3.      Mengembangkan metodologi-metodologi kontemporer untuk studi tentang masyarakat dan kebudayaan muslim
Sebenarnya di dunia muslim cukup banyak terdapat keragaman teknologis yang bisa mengatasi setiap problem teknis, hanya saja ia harus dimobilisasi dan diberi tanggung jawabnya sendiri, sebagai prasyarat pokok bagi tumbuhnya evolusi teknologi muslim. Jika ini diterima maka akan menghasilkan momentumnnya sendiri serta akan menyebabkan terbukanya kewawasan baru.
Suatu hal yang harus disadari bahwa teknologi konvensional mendasarkan dirinya pada nilai-nilai Barat, dan bahwa implantasi (pencangkokkan)-nya di dunia muslim dalam bentuk apapun justru akan meningkatkan ketergantungan teknologis masyarakat-masyarakat muslim, dan akan dibelenggu oleh dominasi peradaban Barat.



BAB III
KOMENTAR

Pemahaman dalam buku ini sangat bagus karena dari beberapa isinya mampu menumbuhkan rasa semangat kedalam jiwa pembacanya. Awal dari buku ini juga menceritakan langkah awal para intelektual muslim dalam jihadnya untuk kepentingan umat islam di seluruh dunia. Buku ini mengkaji betapa kebudayaan dan ilmu pengetahuan klasik yang demikian kompleks berasimilasi dengan kebudayaan Muslim. Demikian pula spirit intelektualitas Muslim dalam proses interaksi dan asimilasi kultural tersebut hingga mencapai puncaknya yang kemudian berangsur-angsur surut dan memunculkan kebangkitan peradaban Barat abad pertengahan. Memberikan pengetahuan kepada pembaca, bahwasannya ada seorang tokoh intelektual yang bernama Ziauddin Sardar beliau sebagai salah satu tokoh pencetus ide tentang sebuah rekonstruksi peradaban muslim dalam menghadapi dominasi sains Barat dalam hal ini mempelopori munculnya suatu gerakan kesarjanaan baru kaum muslimin di Barat. Apa yang dilakukan ziauddin ini dalam sebuah tulisan nya bisa menjadikan kita lebih menghargai para intelektual muslim yang telah berjasa terhadap peradaban islam dan bisa memberikan motivasi yang baik khususnya bagi para sarjana untuk bisa mencontoh semangat beliau. Kelebihan dari buku ini, yaitu :
  •  Susunan kalimatnya mudah dimengerti
  • Bahasa yang di gunakan juga mudah untuk dipahami
  • Isinya menarik perhatian pembaca
  • Menumbuhkan jiwa semangat terhadap peradaban (sains) islam
  • Adanya footnote di setiap kutipan sehingga terlihat jelas
Adapun Kekurangan dari buku ini, diantaranya :
  • Banyak kosa kata asing yang sulit untuk dipahami.
  • Setiap bab pada isi selalu mendeskripsikan kelemahan umat Islam.
  • Susunan pembahasan tidak teratur, sehingga membingungkan pembaca dalam memahami isi bacaan.



   Keterangan : Review Buku “ Jihad Intelektual: Merumuskan parameter-parameter sains islam oleh Ziauddin Sardar” yang di terjemahkan oleh AE Priyono dengan hak penerbitan Risalah Gusti