Minggu, 04 November 2012
Jumat, 19 Oktober 2012
JAMUR PADA ONCOM
Dikenal pula dengan nama ilmiahnya Neurospora sitophila (dahulu Monilia sitophila).
Nama Neurospora berasal dari kata neuron (= sel saraf), karena
guratan-guratan pada sporanya menyerupai bentuk akson. Jamur oncom
termasuk dalam kelompok kapang (jamur berbentuk filamen). Sebelum
diketahui perkembangbiakan secara seksualnya, jamur oncom masuk ke dalam
kelompok Deuteromycota, tetapi setelah diketahui fase seksualnya
(teleomorph), yaitu dengan pembentukan askus, maka jamur oncom masuk ke
dalam golongan Ascomycota.
Secara umum klasifikasi Jamur oncom, sebagai berikut:
Jamur N. crassa dikenal pula sebagai kontaminan, terutama di
dalam laboratorium. Sebagai contoh tinggalkanlah sebonggol jagung
rebus yang sudah dimakan tentunya (biar tidak rugi he .. he.. he..).
Biarkanlah di tempat terbuka (tidak terkena sinar matahari secara
langsung) selama 2 – 3 hari, apakah yang kamu temukan …..
Bonggol jagung tersebut pada umumnya akan terkontaminasi oleh jamur oncom, sehingga warnanya menjadi jingga. Di luar labortorium N. crassa juga terkenal sebagai kontaminan bagi pabrik pengolahan makanan seperti bakeri (roti), karena dapat menimbulkan kerusakan pada produk yang dihasilkan.
Kapang dari genus Neurospora telah lama diketahui dan telah dipelajari sejak 1843. species N. crassa telah banyak digunakan di dalam penelitian laboratorium sejak 1941. Pertumbuhan jamur ini yang sangat pesat, warna jingganya yang khas, serta bentuk spora (konidia) yang berbentuk seperti tepung merupakan ciri-ciri khas kapang ini.
Di negara subtropis dan tropis, makanan fermentasi dari kapang telah banyak ditemukan di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Rhizopus, Amylomyces, Mucor, Monascus dan Neurospora telah berperan sebagai mikoflora. Dalam kehidupan sehari-hari kapang Neurospora telah memegang peranan penting terutama dalam pengolahan makanan fermentasi. Kapang Neurospora telah dimanfaatkan untuk membuat oncom yang sangat populer bagi masyarakat Jawa Barat. Di Brazil, Neurospora telah digunakan dalam proses pengolahan singkong menjadi minuman fermentasi. Menurut Pandey, A. 2004, dalam Concise encyclopedia of bioresource technology, penerbit The Haworth Press: Beberapa strain dari Neurospora crassa, dapat mengkonversi selulosa dan hemiselulosa menjadi ethanol.
![spora N crassa yang berkecambah](https://lh3.googleusercontent.com/blogger_img_proxy/AEn0k_tiOi6qOXskU4PFEBRWBHOPzPbtnRFWgWbR1yF4g-dgKnVpIbs58i48b12QWjVwiTtXvqiQ9RWciSYjOZUOoAS7d49JYWWFs50nRLmfI19M4c84AMkOb7qVKw7_DO26jnEwittq9tfehNTQMn3wnoI2sNJTHGNZGyohREgBVx8=s0-d)
Foto mikroskopik Neurospora crassa dengan SEM dari spora yang telah berkecambah
Secara umum klasifikasi Jamur oncom, sebagai berikut:
Kingdom: | Fungi |
Phylum: | Ascomycota |
Subphylum: | Pezizomycotina |
Class: | Ascomycetes |
Order: | Sordariales |
Family: | Sordariaceae |
Genus: | Neurospora |
Bonggol jagung tersebut pada umumnya akan terkontaminasi oleh jamur oncom, sehingga warnanya menjadi jingga. Di luar labortorium N. crassa juga terkenal sebagai kontaminan bagi pabrik pengolahan makanan seperti bakeri (roti), karena dapat menimbulkan kerusakan pada produk yang dihasilkan.
Kapang dari genus Neurospora telah lama diketahui dan telah dipelajari sejak 1843. species N. crassa telah banyak digunakan di dalam penelitian laboratorium sejak 1941. Pertumbuhan jamur ini yang sangat pesat, warna jingganya yang khas, serta bentuk spora (konidia) yang berbentuk seperti tepung merupakan ciri-ciri khas kapang ini.
Di negara subtropis dan tropis, makanan fermentasi dari kapang telah banyak ditemukan di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Rhizopus, Amylomyces, Mucor, Monascus dan Neurospora telah berperan sebagai mikoflora. Dalam kehidupan sehari-hari kapang Neurospora telah memegang peranan penting terutama dalam pengolahan makanan fermentasi. Kapang Neurospora telah dimanfaatkan untuk membuat oncom yang sangat populer bagi masyarakat Jawa Barat. Di Brazil, Neurospora telah digunakan dalam proses pengolahan singkong menjadi minuman fermentasi. Menurut Pandey, A. 2004, dalam Concise encyclopedia of bioresource technology, penerbit The Haworth Press: Beberapa strain dari Neurospora crassa, dapat mengkonversi selulosa dan hemiselulosa menjadi ethanol.
biakan (culture) Neurospora crassa dalam cawan petri
bentuk dari spora Neurospora (perhatikan guratan-guratan di permukaan spora tsb.)
Bentuk askospora dari N. crassa
Foto mikroskopik Neurospora crassa dengan SEM dari spora yang telah berkecambah
Jamur Roti (Rhizopus nigricans)
![]() |
Gambar 1.1: Perkembangan jamur dalam Roti |
Pada roti akan tumbuh bulatan hitam yang disebut sporangium yang dapat menghasilkan sekitar 50.000 spora. Sporangium dibentuk pada ujung sporangiofor. Jika sporangium matang, dinding pelindung yang tipis pecah dan spora tersebar. Spoa tersebut disebut spora aseksual dan reproduksi yang terjadi adalah secara aseksual. Reproduksi seksual terjadi juga didalam jamur roti dengan cara konjugasi.
![]() |
Gambar 1.2: reproduksi Seksual |
a.Hifa yang kelihatannya serupa memiliki sifat fisiologis yang berbeda dan biasanya diberi tanda positi (+) dan negatif (-). Hifa tidak dapat dibedakan menjadi hifa jantan dan hifa betina. Hifa yang bermuatan positif dan negatif tersebut bercabang pendek dan dinamakan gametangium.
b.Gametangium positif (+) bersinggungan dengan gametangium negatif (-).
c.Terjadi peleburan antara kedua gametangia sehingga terbentuk zigosporangium yang diploid(2n).
d.Ukuran zigosporangium bertambah besar dan kemudian memasuki masa dormansi.
e.Setelah beberapa bulan, jika kondisi lingkungan cukup baik, zigosporangium berkecambah. Kemudian, membentuk sporangium untuk menghasilkan spora seksual. Pembentukan spora tersebut terjadi secara meiosis.
f.Spora tersebar, jika jatuh di tempat yang sesuai akan tumbuh dan berkembang menjadi hifa (individu baru).
Jumat, 05 Oktober 2012
Fairy: JIHAD INTELEKTUAL : MERUMUSKAN PARAMETER-PARAMETER...
Fairy: JIHAD INTELEKTUAL : MERUMUSKAN PARAMETER-PARAMETER...: JIHAD INTELEKTUAL ( Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam) oleh Ziauddin Sardar REVIEW BUKU Diajukan Untuk Memenuhi Sal...
JIHAD INTELEKTUAL : MERUMUSKAN PARAMETER-PARAMETER SAINS ISLAM OLEH ZIAUDDIN SARDAR
JIHAD
INTELEKTUAL ( Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam) oleh Ziauddin Sardar
REVIEW BUKU
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mandiri
Mata Kuliah
: Keterpaduan Islam Dan Iptek
Dosen
Pengampu : Edy Chandra, S.Si., M.A
NANI
KANIA
(59461197)
Jurusan
Tadris IPA Biologi B/ VII
Fakultas
Tarbiyah
KEMENTRIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON
2012
BAB I
LATAR BELAKANG
Islam telah
menjadi puing-puing dihadapan keperkasaan peradaban Barat. Cara pandang yang
memperhadapkan Islam secara dikotomis dengan Barat ini menyebabkan sardar
melakukan perlawanan. Ziauddin Sardar adalah intelektual muslim yang juga
Penulis dalam pemikiran Islam kontemporer, sains, dan juga seorang kritikus
budaya, juga termasuk salah satu penulis Islam progresif, bahkan ada yang
menyebut beliau seorang utopis, dan generalis. Lelaki kelahiran Pakistan
(Punjab) 1951 ini besar di Hackneyh, kawasan timur London, dan bermukim di
Inggris.
Sardar
pernah menjadi fenomena tersendiri dalam intelektualisme Islam pada era
1980-an, bersama koleganya Parvez Manzoor, Gulzar Haider, atau Munawar Ahmad
Anees, karena mempelopori munculnya suatu gerakan kesarjanaan baru kaum muslimin
di Barat. Dimana dalam gerakan tersebut memadukan sekaligus tradisi
intelektuaslime dan aktivisme. Hal ini berbeda dengan tokoh-tokoh intelektual
muslim generasi sebelumnya seperti Syed Hossein Nasr, Ismail Raji Faruqi, atau
Fazlur Rahman yang umumnya bekerja di universitas-universitas terkemukan Barat
terkemuka sebagai “ahli Islam” dan mencapai karir personal yang cemerlang
sehingga secara pribadi-pribadi mereka memperoleh karir personal yang cemerlang
dan mendapat penghormatan intelektual yang tinggi.
Tentang tema
yang akan dibahas nantinya sebagian besar berasal dari tulisan Sardar pada
majalah Afkar Inquiry yang merupakan jurnal akademis Islam yang begitu
eksperimental antara tahun 1984-1986, karena visinya dan mempelopori
dikembangkannya diskursus akademis mengenai isu-isu tentang perlunya Islam
direkonstruksi sebagai peradaban.
Gerakan
cemerlang Sardar tentang rekonstruksi peradaban muslim harus dipahami sebagai
vis-Ã -vis dalam hubungan dengan dominasi peradaban Barat. Karena Islam harus
direkonstruksi sebagai peradaban, karena sebagai peradaban juga Islam telah
menjadi puing-puing dihadapan keperkasaan peradaban Barat. Karenanya hanya
dengan sebuah rekonstuksi peradaban Islam bisa mewujudkan diri sebagai
perangkat keras dari pengalaman sejarahnya, dan dengan cara inilah Islam akan
lebih bermakna.
Inferioritas
dihadapan peradaban barat ini berlaku di semua sektor, mulai dari sektor
keilmuan, teknologi, pendidikan, kedokteran, lembaga-lembaga sosial dan
ekonomi, hingga ke sektor-sektor lain seperti pemikiran politik dan kebudayaan.
Dalam perspektif demikian, Sardar menilai Islam harus di rekonstruksi sebagai
peradaban, karena hanya dengan itu Islam bisa mewujudkan diri sebagai
manifestasi kebudayaan dan nilai-nilai nya sendiri sebagai perangkat keras dari
pengalaman sejarahnya, sebagai instrumen pragmatis dari sistem filsafatnya atau
singkatnya sebagai manifestasi eksternal dari pandangan dunia nya.
Kendati
demikian bahwa problem-problem yang dikemukakan menyangkut alternatif Islam
terhadap Barat dalam skala rekonstruksi peradabannya itu bagi kita Indonesia
adalah suatu formulasi yang masih terlalu asing. Namun bagaimanapun editor
berharap bahwa pemikiran sardar ini mendapatkan lahan yang subur terutama
dikalangkan pemikir filsafat dan kebudayaan islam di Indonesia.
Penjelasan yang diungkapkan oleh Ziauddin Sardar
sebagai salah satu tokoh pencetus ide tentang sebuah rekonstruksi peradaban
muslim dalam menghadapi dominasi sains Barat mengungkapkan bahwa :
Sains Islam tidak semata-mata dilihat dari nilai
itu sendiri melainkan tunduk pada matriks-matriks nilai-nilai abadi. Tidak
seperti sains yang berkembang di Barat dimana cenderung tidak netral dan bebas
nilai, dan berusaha mengembangkan imperialisme budaya, oleh karena itu
intelektual dan kaum pemikir dikalangan Islam harus merumuskan paradigma sains
Islam yang dapat mengungguli sains Barat dan tentunya berupaya mengembangkan
nilai-nilai pandangan Islam dalam sains tersebut, dengan hanya semata-mata
mencari keridhaan Allah Swt.
Selanjutunya alih-teknologi yang berkembang dari
peradaban Barat yang kemudian dinikmati masyarakat Islam sendiri, tidak harus
disikapi dengan pasif, namun harus dicarikan alternatif teknologi guna menjadi
solusi terbaik bagi pengembangan teknologi Islami, dimana masyarakat muslim
harus mampu berperan banyak didalamnya dan tidak hanya sebagai penikmat
teknologi.
Jihad Intelektual : Merumuskan Parameter-parameter
Sains Islam oleh Ziauddin Sardar merupakan buku hasil editor dan terjemahan
oleh AE Priyono. Buku ini merupakan cetakan kedua yaitu pada tahun 2000 yang
memilki hak penerbitan oleh Risalah Gusti Surabaya. Buku ini terdiri dari 8 bab
dengan jumlah halaman 154 halaman, dilengkapi dengan daftar isi, pengantar
editor, bacaan yang disarankan dan indeks buku.
Adapun sistematika
pokok bahasan dari setiap bab, sebagai berikut : pada Bab I berjudul “Membangun Kembali Peradaban Muslim”
terletak pada halaman 1-18. Bab II berjudul “Jihad Intelektual : Kaum Cendekiawan Muslim dan Tanggung Jawab Mereka”
terletak pada halaman 19-34. Bab III berjudul
“Islamisasi Ilmu Pengetahuan atau
Westernisasi Islam?” terletak pada halaman 35-37. Bab IV berjudul “Perlunya Sains Islam” terletak pada
halaman 59-64. Bab V berjudul “Ilmu
Kedokteran dan Metafisika : Sebuah Reorintasi Islam” terletak pada halaman
65-90. Bab VI berjudul “Merumuskan
Kembali Konsep Universitas Islam” terletak pada halaman 91-111. Bab VII
berjudul “Ilmu Pengetahuan dan Nilai:
Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam” terletak pada halaman 113-131.
Dan Bab VIII berjudul “Teknologi dan
Kemandirian Domestik : Sebuah Alternatif Islam” terletak pada halaman 133-154.
Suatu pengantar
dalam buku yang berjudul Jihad Intektual : Merumuskan Parameter-parameter Sains
Islam ini disampaikan oleh AE Priyono, bahwa buku ini merupakan kumpulan
tulisan Ziauddin Sardar, seorang intelektual muslim kelahiran Pakistan yang
kini bermukim di inggris. Tulisan ini berisikan semangat inovasi
menuju paradigma ilmu pengetahuan islam yang multi visi satu visi, namun mengalami
proses perdebatan yang panjang di kalangan cendekiawan Muslin sendiri. Kaum
intelektual garda depan sendiri seperti Ziauddin Sadar dalam karya-karya
ijtihadnya, menawarkan berbagai rekayasa epistemologis dan eksiologis yang
diharapkan menjadi manual bagi pembangunan peradaban islam masa depan. Sardar,
membangun visi tersendiri yang turut mewarnai agenda-agenda islam kontemporer.
BAB II
POKOK PIKIRAN PENTING
A. Membangun
Kembali Peradaban Muslim
Rekonstruksi peradaban muslim secara esensial
merupakan suatu proses elaborasi pandangan-dunia Islam. Peradaban muslim tidak
lebih ditentukan oleh masa sejarah atau ruang geografi tertentu ketimbang oleh
ajaran-ajaran Qur’an dan Sunnah. Peradaban muslim merupakan sebuah kontinum
sejarah: ia ada pada masa lampau, ada pada masa kini, dan akan ada di masa
depan. Setiap langkah menuju masa depan memerlukan elaborasi lebih jauh
mengenai pandangan dunia Islam, sebuah invokasi atas prinsip-prinsip dinamis
ijtihad yang memungkinkan peradaban muslim mampu mendengarkan situasi-situasi
yang selalu berubah.
Secara esensial kita sedang
menghadapi tujuh tantangan besar. Tidak ada satupun diantaranya yang bisa
ditangani secara terpisah. Peradaban muslim digambarkan dalam skema berbentuk
bunga, dari situ dapat di identifikasi tujuh bidang yang memerlukan elaborasi.
Pada pusat bunga terletak pandangan –pandangan Islam. Pusat inti yaitu
epistemologi dan syariah. Empat daun bunga primer terdiri dari struktur sosial
dan politik, kegiatan ekonomi, sains dan teknologi, serta lingkungan.
Epistemologi
atau teori ilmu pengetahuan, memang tidak lebih dari ekspresi suatu pandang –
dunia. Tanpa epistemologi yang jelas mustahil muncul suatu peradaban. Syariah, hukum
islam, juga merupakan Concern pragmatis, syariah lebih dari teologi,
merupakan kontribusi primer peradaban muslim terhadap perkembangan umat
manusia.
Proses
rekonstruksi peradaban muslim sama artinya dengan menghadapi tujuh tantangan
yang sudah dikemukakan. Proses ini tidak menyangkut “ mengislamkan” disiplin
ini atau itu, tetapi memasukan ekspresi-ekspresi eksternal peradaban muslim
kedalam mode epistemologis islam dan metodologi syariah. Ini mencakup
pengelaborasian pandangan dunia islam dan pemanfaatan matriks konseptual, yaitu
tepat dari jantung Qur’an dan Sunnah.
B. Jihad
Intelektual : Kaum cendekiawan muslim dan tanggung jawab mereka
Para sarjana dan cendekiawwan muslim
mempunyai peranan vital untuk menghilangkan ketidakadilan dan penindasan baik
yang terdapat pada masyarakat-masyarakat muslim maupun masyarakat lain di
dunia. Tetapi jika mereka ingin memperoleh kepercayaan dan respek dari umat ,
mereka harus mencurahkan tanggung jawab mereka secara lebih serius dan
menunjukkan perhatian yang positif terhadap kebudayaan dan nilai-nilai
pandangan dunia islam. Mereka harus memperjuangkan kebenaran dan keadilan
sebagai pejuang yang bebas sambil memodifikasi karakter dan ciri intelektual
mereka untuk memenuhi kebutuhan dan tuntunan masyarakat kontemporer.
C. Islamisasi
Ilmu Pengetahuan atau Westernisasi Islam ?
Ilmu
pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari pandangan-dunia dan sistem keyakinan.
Dari pada “meng-Islamkan” disiplin-disiplin yang telah berkembang dalam miliu
sosial, etik dan kultural Barat, kaum cendekiawan muslim lebih baik mengarahkan
energi mereka untuk menciptakan paradigma-paradigma islam, karena dengan itulah
tugas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan urgen masyarakat muslim bisa
dilaksanakan.
Usaha-usaha
memusatkan diri di sekitar masalah islamisasi ilmu pengetahuan. Dua orang
sarjana terkemuka yang telah memberikan sumbangan berharga adalah Syed Muhammad
Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi. Al-Attas dalam tulisannya yang
berjudul “ The De- Westernisaction of Knowledge” dia mengajukan suatu kriktik
terhadap epistemologi Barat, dia mengatakan bahwa skeptisisme yang tidak
mengenal batas-bats etik dan nilai dari sistem ilmu pengetahuan barat adalah merupakan antitesa terhadap epistemologi
islam.
Adapun Lima
sasaran rencana kerja al-Faruqi untuk Islamisasi Ilmu Pengetahuan
1.
Menguasai disiplin-disiplin modern.
2.
Menguasai khazanah Islam.
3.
Menentukan relevansi Islam yang spesifik pada
setiap bidang ilmu pengetahuan modern.
4.
Mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif
antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern.
5.
Mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan
yang mengarah pada pemenuhan pola-rancangan Allah.
Menurut Faruqi, sasaran di atas bisa dicapai
melalui 12 langkah sistematis yang pada akhirnya mengarah pada Islamisasi ilmu
pengetahuan.
· Langkah 1: Penguasaan terhadap disiplin-disiplin modern.
Al-Faruqi mengatakan, bahwa disiplin-disiplin modern harus dipecah-pecah
menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi,
problem-problem dan tema-tema pemilah-milahan yang mencerminkan “daftar isi”
suatu buku teks klasik.
· Langkah 2: Survei disipliner. Jika kategori-kategori dari
disiplin ilmu telah dipilah-pilah, suatu survei menyeluruh harus ditulis untuk
setiap disiplin ilmu. Langkah ini diperlukan agar sarjana-sarjana muslim mampu
menguasai setiap disiplin ilmu modern.
· Langkah 3: Penguasaan terhadap khazanah Islam. Khazanah
Islam harus dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi di sini, apa yang diperlukan
adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikiran muslim yang berkaitan
dengan setiap disiplin.
· Langkah 4: Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap
analisa. Jika antologi-antologi sudah disiapkan, khazanah pemikiran Islam harus
dianalisa dari perspektif masalah-masalah masa kini.
· Langkah 5: Penentuan relevansi spesifik untuk setiap
disiplin ilmu. Relevansi ini, kata Faruqi, dapat ditetapkan dengan mengajukan
tiga persoalan: Pertama adalah, apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai
dari Qur’an hingga pemikiran-pemikiran kaum modernis, dalam keseluruhan masalah
yang telah dicakup oleh disiplin-disiplin modern? Kedua, seberapa besar
sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh
disiplin-disiplin modern tersebut? Sampai di mana tingkat pemenuhan,
kekurangan, serta kelebihan khazanah Islam itu jika dibandingkan dengan visi
dan scope disiplin-disiplin modern? Ketiga, apabila ada bidang-bidang
masalah yang sedikit diperhatikan atau bahkan sama sekali tidak diabaikan oleh
khazanah Islam, ke arah manakah kaum muslim harus berusaha mengisi kekurangan
itu, juga untuk mereformulasi masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin
tersebut?
· Langkah 6: Penilaian kritis terhadap disiplin modern. Jika
relevansi Islam untuk semua disiplin sudah disusun, maka ia harus dinilai dan
dianalisa dari titik pijak Islam.
· Langkah 7: Penilaian kritis terhadap khazanah Islam.
Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa
dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan.
· Langkah 8: Survei mengenai problem-problem terbesar
ummat Islam. Suatu studi sistematis harus dibuat tentang masalah-masalah
politik, sosial, ekonomi, intelektual, kultural, moral dan spiritual dari kaum
muslim.
· Langkah 9: Survei mengenai problem-problem ummat manusia.
Suatu studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh ummat manusia, harus
dilaksanakan.
· Langkah 10: Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini para
sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesa antara khazanah Islam dan
disiplin-disiplin modern, serta untuk “menjembatani jurang kemandegan
berabad-abad”. Dari sini khazanah pemikiran Islam “harus tetap sinambung dengan
prestasi-prestasi modern, dan harus mulai menggerakkan tapal batas ilmu
pengetahuan ke horison yang lebih luas daripada yang sudah dicapai oleh
disiplin-disiplin modern”.
· Langkah 11: Merumuskan kembali disiplin-disiplin di dalam
kerangka Islam. Sekali kesinambungan antara khazanah Islam dan
disiplin-disiplin modern telah dicapai, buku-buku teks universitas harus
ditulis untuk menuang kembali disiplin-disiplin modern dalam cetakan Islam.
· Langkah 12: Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah
diislamisasikan. Karya intelektual yang sudah diproduk dari langkah-langkah
sebelumnya harus digunakan untuk membangkitkan, menerangi dan memperkaya ummat
manusia.
D. Perlunya Sains Islam
Islam bukan
sekedar agama namun lebih jauh, Islam menjelaskan dirinya sebagai Din; Suatu
deskripsi menyeluruh melebihi pengertian tradisional tentang agama kebudayaan
dan peradaban. Dimana Islam juga memuat suatu sistim politik dan metode
organisasi sosial yang hidup dan dinamis.
Sistim ini
bermuatan struktur yang utuh meliputi sebuah matriks mengenai nilai-nilai dan
konsep-konsep abadi yang hidup dan realistis sehingga memberikan karakter yang
unik bagi peradaban dan pandangan dunia Islam. Nilai-nilai ini akan memberikan
parameter-parameter bagi masyarakat muslim dan sekaligus petunjuk bagi
peradaban Islam untuk mencapai nasibnya yang manifes.
Di dalam
lingkaran (cordon) nilai-nilai dan konsep-konsep seperti; Tauhid, Khilafah,
Akhirat, Ibadah, Ilm dan Istishlah (kepentingan umum), dimana sepanjang sejarah
Islam telah dimanifestasikan nilai-nilai tersebut melalui berbagai cara sesuai
dengan kondisi sejarah dan lingkungannya, akan tetapi tetap mempertahankan
karakteristiknya yang unik dan abadi.
Masyarakat
muslim kontemporer memiliki kebutuhan-kebutuhan dan kondisi-kondisi khusus yang
perlu disesuaikan dengan pandangan dunia Islam, dimana semua kebutuhan harus
menurut struktur nilai Islam. Dengan demikian metode, proses dan sarana untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini bagi masyarakat muslim kontemporer harus
merupakan pencerminan dari perwujudan kebudayaan dan nilai-nilai Islam. Demikian
juga dengan Sains sebagai sarana paling penting untuk memecahkan
problem-problem manusia serta untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya harus
berada dalam sirkumferensi (lingkaran) nilai-nilai dan konsep-konsep Islam yang
abadi.
Sains adalah
apa yang dilakukan atau dikerjakan oleh ilmuwan untuk memecahkan masalah dimana
lebih dititikberatkan pada bidang-bidang yang telah dirumuskan sesuai dengan
kerangka nilai peradaban modern. Sains yang beroperasi dalam struktur nilai
Islam memiliki proposisi yang berbeda dibandingkan dengan sains sebagaimana
yang dipraktekkan pada masa sekarang ini. Sains modern tidak berkepentingan
untuk mengejar kebenaran objektif maupun gagasan platonik, tetapi sebagai suatu
sistim pemecahan masalah yang bersifat paradigmatik.
Salah satu
penemuan paling penting yang ditunjukan oleh karya Sayyed Hossein Nasr tentang
sains Islam yang dipandang sebagai sebuah tradisi ilmiah dan intelektual yang
independen, adalah bahwa tidak ada suatu metode pun yang digunakan dalam sains
itu yang mengenyampingkan metode-metode lainnya. Sebaliknya sains Islam
senantiasa berupaya untuk menerapakan metode-metode yang berlainan sesuai
dengan watak subyek yang dipelajari dan cara-cara memahami subyek tersebut.
Para ilmuan Muslim, dalam menanamkan dan mengembangkan beraneka ragam sains,
telah menggunakan setiap jalan pengetahuan yang terbuka bagi manusia, dari
rasiosinasi dan interpretasi Kitab Suci hingga observasi dan eksperimentasi.
Tidak ada
yang netral dan bebas-nilai dalam sains modern, karena prioritas-prioritasnya,
penekanannya, metode dan prosesnya serta pandangan-dunianya merefleksikan
kepentingan masyarakat dan kebudayaan Barat, dimana sains semata-mata digunakan
untuk mengejar keuntungan dan jumlah produksi untuk mengembangkan militer dan
perlengkapan-perlengkapan perang, serta dominasi ras manusia terhadap ras
manusia lainnya. Sehingga dalam sistim Barat sains itu sendiri merupakan nilai
tertinggi sehingga segala-galanya harus dikorbankan pada altar sains.
Sementara
dalam Islam sangat berbeda karena pencarian ilmu pengetahuan (ilm) hanya
bermakna jika ilmu pegetahuan yang dicari menurut pandangan dunia-Islam adalah
mencari karunia Allah. Dengan demikian sains dalam Islam bukanlah nilai itu
sendiri, tetapi tunduk pada matriks nilai-nilai abadi. Oleh karena itu sains
jelaslah tidak bebas nilai, berbeda dengan sains di Barat yang berupaya
mengembangkan nilai-nilai kebudayaan dan peradaban Barat, sementara sains Islam
mengembangkan nilai-nilai pandangan Islam, misalnya dalam penggalian ilmu
pengetahuan disamakan dengan Ibadah, artinya ilmu pengetahuan itu harus dicari
dalam kerangka yang relevan dengan nilai-nilai lain seperti keadilan,
kepentingan umum dan sebagainya.
Namun perlu
diingat bahwa tidaklah bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan itu sendiri adalah
suatu kebajikan seperti dalam paham Aristotelian, karena tidak semua pencarian
ilmu pengetahuan dalam Islam merupakan ibadah. Rasulullah Saw, secara tegas
pernah mengatakan ketika beliau mengetahui bahwa meskipun Astrologi sebenarnya
adalah bagian dari ilmu pengetahuan, tetapi keburukannya lebih besar daripada
kebaikannya. Oleh karena itu kita membutuhkan sains Islam karena
kebutuhan-kebutuhan, prioritas-prioritas dan perhatian masyarakat muslim
berbeda dengan apa yang dimiliki oleh peradaban Barat, disamping itu peradaban
Islam tidak akan sempurna tanpa memiliki suatu sistim objektif untuk memecahkan
masalah yang terakumulasi sesuai dengan paradigmanya masing-masing. Tanpa sains
Islam dan masyarakat muslim hanya akan menjadi bagian dari kebudayaan dan
peradaban Barat. Singkatnya kita tidak akan memiliki masa depan yang jelas
tanpa sains Islam.
E. Ilmu
Kedokteran dan Metafisika : Sebuah Reorientasi Islam
Dalam ilmu kedokteran dan metafisika, sistem ilmu
kedokteran mengasalkan legitimasinya pada pandangan dunia-dunia nya. Ilmu
kedokteran Barat adalah saudara kandung dari pandangan dunia yang reduktif,
arogan dan kapitalistik dari peradaban barat. Berhadapan dengan sistem ilmu
kedokteran yang seperti itu, ilmu kedokteran Islam hanya akan memperoleh format
kontemporernya jika ia berhasil menjadi alternatif bagi sistem ilmu kedokteran
barat yang kini sedang menempuh jalan bunuh diri.
Perbedaan utama antara ilmu kedokteran Barat
dengan ilmu kedokteran Islam terletak pada pandangan-pandangan metafisis. Ilmu
kedokteran Islam tidak menganggap dirinya sebagai komoditi, tetapi sebagai
kewajiban sosial yang harus dipenuhi atas dasar perintah agama. Sarjana-sarjana
seperti Ibnu Sina dan ar-Razi tidak mengandalkan penghidupan mereka dari
praktek sebagai dokter tetapi dari kesarjanaan mereka. Hampir semua dokter
muslim klasik adalah juga filosof, mereka mengombinasikan ilmu kedokteran
dengan metafisika.
Sementara pandangan dunia barat secara
epistemologis melepaskan masyarakat dari ilmu kedokterannya, ilmu kedokteran
Islam menjadikan masyarakat sebagai titik sentralnya. Metodologi ilmu
kedokteran Barat adalah reduksi. Sementara ilmu kedokteran islam seraya
mengakui pentingnya pemikiran reduktif –deskripsi dan analisa ar-Razi mengenai
penyakit cacar belum pernah tertandingi oleh pisau bedah pemikiran dan analisa
reduktif manapun.
Muhammad ali mendirikan sekolah Qasr al-Aini untuk
melayani kesehatan penduduk mesir. Sebelum datang nya penguasa inggris, baik
kawasan diperkotakan maupun pedesaan memilki pelayanan kesehatan yang memadai,
dimana pasien dirawat dengan gratis. Akan tetapi dibawah Inggris, pelayanan kesehatan
dikawasan pedesan berangsur-angsur dihilangkan, dikawasan perkotaan pun sistem
kedokteran barat hanya bermanfaat bagi mereka yang mampu membayar.
Kendati demikian, dalam jangka panjang
dibangkitkannya kembali ilmu kedokteran Islam akan menjadi satu-satunya solusi
untuk memecahkan problem kesehatan dunia muslim. Sebuah peradaban tidak dapat
diharapkan bisa hidup terus secara fisik, psikologi maupun intelektual jika
sistem kesehatan dan ilmu kedokterannya tidak didasarkan pada pandangan
duni-dunia nya sendiri.
F. Merumuskan Kembali Konsep Universitas Islam
Dengan basis
ilmu pengetahuan dari peradaban muslim, sebuah universitas islam harus
merefleksikan sifat serta karakteristik-karakteristik konseptualnya yang
esensial didalam struktur institusional dan organisaionalny. Universitas islam
harus menjadi semacam mikro-kosmos peradaban musli, disamping tentu saja,
menjadi instrumen untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan riset dan intelektual
masyarakat muslim kontemporer. Pada inti pusat setiap universitas harus ada
semacam program riset dan pengembangan yang ditujukan untuk dan kontemporisasi
konsep-konsep esensial pandangan islam.
Untuk
menjadikan pemikiran tradisional relevan bagi masa kini dan masa depan, program
riset dan pengembangan harus dibangun diatas suatu matriks konseptual: misalnya
program tersebut harus memiliki “ departemen-departemen” yang khusus ditujukan
untuk studi dan pemahaman kontemporer mengenai konsep kunci islam seperti Tauhid,
Risalah, Khilafah, Ibadah, Adl, Istishlah, dan Syariah.
Terlepas
dari program inti tersebut, suatu universitas harus mencakup semua bidang ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan keperluan
dan kebutuhan peradaban muslim. Untuk memberikan kepada institusi ini suatu
struktur yang bisa dimengerti menurut term-term modern, harus menganalisa
kebutuhan masa kini dan masa depan peradaban sesuai dengan kategori yang sudah
dikenal seperti ilmu-ilmu ideasional, ilmu-ilmu saintifik (alam), ilmu-ilmu
teknologikal, ilmu-ilmu informasional, ilmu-ilmu organisasional, ilmu-ilmu
sosial dan ilmu-ilmu kultural.
G. Ilmu pengetahuan dan nilai : Merumuskan
Parameter-parameter Sains Islam
Untuk
merumuskan parameter-parameter sains Islam pada konteks kekinian, perlu kiranya
dikembangkan solusi-solusi yang viable dalam kaitannya dengan krisis sains
Barat. Meskipun demikian realisasi kontemporer dari sains Islam harus
didasarkan pada suatu kerangka nilai yang menjadi karakteristik-karakteristik
dasar kebudayaan Islam.
Perdebatan
panjang dikalangan ilmuwan-ilmuwan muslim tentang “Sains Islam” telah
memberikan garis-garis besar pengembangan sains dikalangan masyarakat muslim,
dimana kebijakan tersebut memungkinkan diserapnya manfaat yang berharga dari
sains dan teknologi tanpa menjual nilai dan kebudayaan Islam, serta yang mampu
memberikan bentuk yang hidup dan dinamis kepada filsafat dan pandangan dunia
Islam.
Fenomena
yang muncul kemudian adalah bahwa sains, teknologi dan masyarakat, dalam setiap
interaksinya senantiasa menemukan masalah yang kerap muncul dalam skala dan
kompleksitas yang luas, sehingga solusi-solusi praktis yang ditawarkan tampak
surut dalam kabut konstrain-konstrain lingkungan, ekonomis dan politis. Sungguh
sebuah persoalan yang paling signifikan yang sedang dihadapi ummat manusia saat
ini.
Selain itu
krisis atas sains diwarnai oleh “sang ilmuwan” (the scientist) -sebagai seorang
peneliti yang berdedikasi tinggi- dalam pengamatan para filososf, kini tidak
lagi bertugas mengumpulakan fakta-fakta, seperti mengumpulkan kerikil dipantai,
namun mereka justru menyelidiki masalah-masalah. Thomas S Khun misalnya, pernah
mengatakan bahwa banyak ilmuwan merasa puas karena menganggap telah “memecahkan
teka-teki di dalam sebuah paradigma”, dan ketika paradigma itu hancur karena
datangnya revolusi ilmu pengetahuan (baca: Revolusi Ilmiah), banyak dari
teka-teki yang dianggap sudah dipecahkan itu muncul kembali.
Selanjutnya
seperti dikatakan oleh Jerome Ravetz, Guru Besar sejarah dan filsafat ilmu di
Universitas of Leeds, mengemukakan bahwa krisis yang terjadi di dalam sains
telah menimbulkan sejumlah paradoks, salah satunya yang paling besar adalah
“para idelog sains Barat yang telah memaksakan pengaruh mereka selama
berabad-abad dengan menyatakan bahwa apa yang dilakukannya demi kepentingan
signifikansi manusia dengan membuatkan landasan-landasan nilai, sementara pada
saat yang sama menghindari biaya dan tanggungjawab dari signifikansi itu dengan
menganggap bahwa pekerjaan mereka pada dasarnya tidak mungkin bisa dikaitkan dengan
komitmen-komitmen nilai.
Hal ini
dikuatkan dengan pendapat Ilmuan Islam seperti Syed Muhammad an-Naquib al-Attas
dari Universitas Nasional Malaysia, yang dimuat dalam papernya “The
De-Westernisation on Knowledge”. Inti argumen al-Attas adalah; ilmuwan-ilmuwan
dan teknolog-teknolog muslim yang bekerja menurut sistim ilmu pengetahuan
Barat, hanya akan memajukan nilai-nilai dan ketegangan batin dari kebudayaan
dan peradaban Barat. Sains seperti ini tidak pernah akan diinternalisasikan
oleh ummat Islam, dikarenakan tidak akan berakar pada epistimologi dan sistim
nilai Islam –sebuah sains yang dapat diinternalisasikan dan bisa mengekspresikan
tanggugjawab sosial kaum muslim- sungguh akan menjadi sebuah kebutuhan yang
sangat mendesak.
Untuk
menjawab permasalahan ini, sarjana-sarjana muslim dan Barat dalam seminar
“Islam and the West”, telah saling sepakat bahwa realisasi kontemporer dari
sains Islam harus didasarkan pada suatu kerangka nilai yang merupakan
karakteristik-karakteristik dasar kebudayaan Islam itu sendiri, diantaranya:
- Tauhid (baca:Keesaan Tuhan) : Konsep ini merupakan sebuah nilai yang all-embracing jika kemudian ditegaskan menjadi kesatuan ummat manusia, kesatuan antar manusia dan alam, dan kesatuan antara ilmu pengetahuan dan nilai.
- Khilafah: Bahwa manusia tidaklah independen dari Tuhan, tapi bertanggungjawab kepada Tuhan baik dalam kegiatan ilmiah maupun teknologisnya, konsep ini mengandung implikasi bahwa manusia tidak mempunyai hak eksklusif, tetapi bertanggungjawab untuk memelihara dan menjaga keselarasan tempat kediamannya di Bumi.
- Ibadah: Dengan melakukan kewajiban Kontemplasi (Ibadah), kesadaran mengenai Tauhid dan Khilafah akan timbul, dan berperan sebagai faktor yang mengintegrasikan kegiatan ilmiah dengan sistim nilai Islam. Sebab jika orang mencari ilmu pengetahuan untuk melakukan eksploitasi dan dominasi terhadap alam, pasti dia akan menjadi pengamat pasif.
- Ilm (baca: ilmu) : Konsep mengenai ilmu pengetahuan ini merupakan konsep yang paling banyak ditulis dan diperbincangkan oleh seluruh pengarang muslim klasik dari al-Kindi (801-873), al-Farabi (w.950), al-Biruni (937-1048) sampai al-Ghazali (w.1111) dan Ibn Khaldun (1332-1406) telah merumuskan klasifikasi-klasifikasi pokok mengenai ilmu pengetahuan tersebut menjadi dua kategori, yaitu; ilm yang diwahyukan (wahyu), yang menyediakan kerangka etika dan moral; dan ilm yang tak diwahyukan (non-wahyu), yaitu yang pencariannya yang menjadi kewajiban bagi kaum muslim di bawah petunjuk Ibadah.
- Halal dan Haram : Konsep ini menjadi relevan, yang mencakup semua yang bersifat destruktif bagi manusia sebagai individu dalam lingkungannya yang dekat, maupun lingkungan yang luas. Destruktif dalam pengertian fisik, mental dan spiritual. Dilain pihak semua yang bermanfaat untuk seorang individu, masyarakat dan lingkungannya adalah Halal. Dengan demikian suatu tindakan yang halal tentu membawa manfaat bagi individu, bisa saja mempunyai efek-efek yang berbahaya, baik bagi masyarakat, lingkungan, atau keduanya. Inilah mengapa halal harus bekerja diatas premis-premis distribusi keadilan sosial (adl). Sedangkan haram selalu akan menimbulkan zulm (kezaliman), dan tirani.
- Adl (keadilan sosial) : Demikianlah, kegiatan ilmiah dan teknologis yang berupaya memajukan adl (keadilan sosial) adalah Halal, sementara sains dan teknologi yang menimbulkan alienasi dan dehumanisasi, dimana konsentrasi kekayaan ditangan segelintir orang, pengangguran dan kerusakan lingkungan, adalah zalim (tiranik), oleh karena itu dinilai Haram.
- Zulm (tirani): Karakteristik dari teknologi yang zalim adalah bersifat boros sumber daya manusia, sumberdaya lingkungan dan sumber daya spiritual, dan dikategorikan sebagai sains dan teknologi yang memajukan keadilan sosial (adl) merupakan sumber suplementer terpenting dari hukum Islam.
- Istishlah (kepentingan umum) : Disinilah sebuah definisi mengenai sains Islam bisa diformulasikan dalam term kerangka nilai-nilai Qur’ani. Paradigma-paradigma sains Islam tersebut, adalah konsep-konsep Tauhid, Khilafah, Ibadah, yang bekerja dengan perantara Ilm untuk memajukan keadilan sosial (adl) dan kepentingan umum (istishlah), kemudian berkaitan dengan konsep-konsep yang lainnya.
Demikianlah tanggungjawab seorang ilmuwan muslim
yang meliputi tanggungjawab yang sosial dan spiritual, dan sains Islam yang
bertanggungjawab mengembangkan kesadaran ketuhanan; mengharmoniskan tujuan dan
cara, dalam mencari ilmu pengetahuan; memperhatikan relevansi sosial dalam
pencarian maupun penererapan ilmu pengetahuan; serta, menolak netralitas
pengetahuan objektif.
H. Teknologi Kemandirian Domestik : Sebuah
Alternatif Islam
Munculnya teknologi Barat telah memperkenalkan
semacam penjajahan gaya baru bagi negara-negara muslim, betapa tidak justru
teknologi tersebut diimpor seakan menjual masa depan mereka. Evolusi dari
sebuah alternatif Islam memerlukan penggabungan dan kerjasama sumber teknis dan
intelektual dari dunia muslim seraya mengupayakan jawaban-jawaban lokal
terhadap problem-problem lokal.
Teknologi inilah yang baru belakangan diperhatikan
oleh kalangan intelektual muslim, setelah sempat terabaikan. Karena kurangnya
pemikiran dari kalangan muslim mengenai sifat dan peranan teknologi dalam masyarakat
yang dilahirkan dari keyakinan kuat bahwa semua teknologi adalah baik dan bisa
diperoleh dari dari masyarakat-masyarakat industrial melalui berbagai cara. Ada
anggapan bahwa dengan teknologi juga mampu mengubah keadaan masyarakat muslim
dari masyarakat terbelakang menjadi masyarakat industrial. Dengan demikian
masyarakat muslim lebih mencurahkan perhatian untuk memperoleh semua teknologi
daripada merumuskan apa yang secara pasti menjadi kebutuhan masyarakat muslim,
serta membangun kapabilitas internal untuk memproduk inovasi-inovasi teknologis
yang diinginkan.
Keyakinan akan sifat baik teknologi ini begitu
mendalam, begitu berpengaruh sampai munculnya anjuran bahwa masyarakat muslim
harus mengambil manfaat penuh dari upaya alih-teknologi Negara-negara industri
maju. Alasan ini diperkuat oleh Waqar Ahmad Husaini, yang pernah menawarkan
pemikiran serius mengenai apa yang dinamakan “pola imitatif-inovatif
modernisasi teknologis”. Dimana dalam salah satu kesimpulan yang bertentangan
secara diametral, dikatakan bahwa sistim-sistim sains kaum muslim pada zaman
pertengahan, dan sistim-sistim sains Barat pada zaman modern, termasuk Komunis,
tumbuh melalui proses peminjaman dan asimilasi yang selektif, ini menunjukan
bahwa masyarakat muslim secara lebih sempurna dapat lebih leluasa dan harus
meminjam serta mengadaptasi prestasi kultural material dan teknologi dari
bangsa-bangsa non-muslim yang lebih maju.
Kesimpulan yang naif dan keliru ini, bisa
memperkuat keyakinan para pengambil keputusan dan kalangan intelektual muslim,
karena kendatipun keuntungan-keuntungan yang diharapkan dari pengalihan
teknologi ini, berupa peningkatan kehidupan, peningkatan produktivitas
pertanian dan hasil-hasil industri, malah hampir tidak terlihat di dunia
muslim. Karena teknologi yang dipinjam hampir tidak cocok untuk masyarakat
muslim disamping sumber daya manusia yang tidak memadai, nampaknya suku
cadangnya juga harus tergantung pada pemasoknya.
Alih teknologi ini tidak hanya menyebabkan
negara-negara muslim tergantung pada negara-negara industri namun dapat
mempengaruhi kebudayaan dan lingkungan muslim, buktinya pengaruh teknologi yang
diterapkan dikota suci Mekkah dan Madinah, dan kawasan yang dipakai untuk
ibadah haji, misalnya, dimana telah dirombak tanpa ampun, diputus dari akar-akar
sejarahnya, oleh semacam teknologi brutal yang menghasilkan kerusakan dan
kurangnya perhatian terhadap nilai-nilai kultural.
Sesungguhnya jika ditelisik lebih jauh, tidak ada
yang salah dengan teknologi konvensional Barat jika orang menerimanya sebagai
produk dari pandangan dunia dan kebudayaan sekuler. Jika masyarakat tidak punya
penghargaan terhadap kebudayaan sendiri atau jika masyarakat berkeingingan
untuk menerima sifat eksploratif teknologi Barat, maka pada batas-batas
tertentu, ia tidak akan tunduk pada tuntutan-tuntutan masyarakat tersebut.
Selama ini argumen tentang pemilihan dan seleksi
teknologi secara khusus digunakan oleh para penganjur dan pendukung teknologi
alternatif, sebagai Contoh, K. D. Sharma dan M. A. Qureshi yang mengatakan bahwa
gagasan teknologi alternatif didasarkan pada “pemilihan dan seleksi tes
teknologi atau teknologi-teknologi dari seperangkat teknologi yang tersedia
untuk memproduk barang dan komoditi serta untuk memenuhi kebutuhan”. Teknologi
alternatif ini diseleksi dari sebuah spektrum teknologi-teknologi yang tersedia
yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Bisa saja ia merupakan “teknologi
primitif-primitif, rendah atau tinggi, atau antara teknologi primitif dan
teknologi tinggi.
2.
Ia harus sesuai dengan sumber dengan tujuan-tujuan
ekonomi, sosial, kultural dan politiknya.
3.
Secara environmental harus sehat
Pemilihan atas teknologi alternatif ini menurut
Sharma dan Qureshi haruslah didasarkan pada dua kriteria, yakni sosial,
ekonomi-kultural serta keamanan nasional dan prestise, dibawah kriteria yang
pertama, teknologi-teknologi itu tampaknya harus diutamakan untuk yang padat
karya, kecil, sederhana, serta yang menggunkan sumberdaya dan tenaga-tenaga
terampil lokal untuk meminimalisasi anggaran. Sedangkan pada alternatif kedua
yakni pada keamanan nasional dan prestise, tidak dilihat sebagai alternatif
untuk bersaing dengan masyarakat-masyarakat industri dalam beberapa bidang
teknologi yang besar dan kompleks dimana produksi masal sangat penting untuk
memperoleh sasaran-sasaran politis dan keamanan strategis.
Permasalahan yang timbul kemudian, secara
keseluruhan bahwa eksperimen-eksperimen teknologi alternatif telah menimbulkan
kekecewaan, dimana kaitan antara teknologi dan masyarakat melalui dua cara,
yakni; Pertama, terbukti bahwa satu-satunya teknologi yang benar-benar cocok
untuk satu masyarakat adalah teknologi yang tumbuh dari masyarakat dan bisa
berkembang tanpa bantuan luar apapun, sehingga lebih menjadi kreasi bumi dan
hanya berkembang pada wilayah tertentu saja, dan Kedua, teknologi alternatif
tidak bisa dikembangkan dari kerangka filsafat dan intelektual peradaban Barat.
Sebagai contoh jika teknologi alternatif akan mereduksi produktifitas pada
urutan determinan kedua, maka ilmu ekonomi Barat yang melihat konsumsi sebagai
tujuan kegiatannya, harus diganti pula dengan suatu alternatif yang lebih
jelas.
Hal terpenting yang harus disadari adalah tidak
ada yang mampu menggoyahkan independensi teknologis, dan tidak mudah membendung
serangan gencar dari gaya dan mode teknologi yang dominan. Meskipun solusi-solusi
seketika hanya akan menunda apa yang tidak terelakkan dari pengaruh teknologi
itu sendiri, dan berikutnya adalah bahwa kita harus memahami evolusi dan cara
pemecahan masalah-masalah praktis ala muslim secara jelas dalam konteks yang
lebih luas, yang tentunya tidak terpisahkan dari;
1.
Upaya untuk menemukan kembali sains Islam
2.
Mengembangkan ilmu ekonomi Islam yang viable
(andal; dapat diandalkan)
3.
Mengembangkan metodologi-metodologi kontemporer
untuk studi tentang masyarakat dan kebudayaan muslim
Sebenarnya di dunia muslim cukup banyak terdapat
keragaman teknologis yang bisa mengatasi setiap problem teknis, hanya saja ia
harus dimobilisasi dan diberi tanggung jawabnya sendiri, sebagai prasyarat
pokok bagi tumbuhnya evolusi teknologi muslim. Jika ini diterima maka akan
menghasilkan momentumnnya sendiri serta akan menyebabkan terbukanya kewawasan
baru.
Suatu hal yang harus disadari bahwa teknologi
konvensional mendasarkan dirinya pada nilai-nilai Barat, dan bahwa implantasi
(pencangkokkan)-nya di dunia muslim dalam bentuk apapun justru akan
meningkatkan ketergantungan teknologis masyarakat-masyarakat muslim, dan akan
dibelenggu oleh dominasi peradaban Barat.
BAB III
KOMENTAR
Pemahaman
dalam buku ini sangat bagus karena dari beberapa isinya mampu menumbuhkan rasa
semangat kedalam jiwa pembacanya. Awal dari buku ini juga menceritakan langkah
awal para intelektual muslim dalam jihadnya untuk kepentingan umat islam di seluruh
dunia. Buku ini mengkaji betapa kebudayaan dan ilmu
pengetahuan klasik yang demikian kompleks berasimilasi dengan kebudayaan
Muslim. Demikian pula spirit intelektualitas Muslim dalam proses interaksi dan
asimilasi kultural tersebut hingga mencapai puncaknya yang kemudian
berangsur-angsur surut dan memunculkan kebangkitan peradaban Barat abad
pertengahan. Memberikan pengetahuan kepada pembaca, bahwasannya ada seorang tokoh
intelektual yang bernama Ziauddin Sardar beliau sebagai salah satu tokoh
pencetus ide tentang sebuah rekonstruksi peradaban muslim dalam menghadapi
dominasi sains Barat dalam hal ini mempelopori munculnya suatu gerakan
kesarjanaan baru kaum muslimin di Barat. Apa yang dilakukan ziauddin ini dalam
sebuah tulisan nya bisa menjadikan kita lebih menghargai para intelektual
muslim yang telah berjasa terhadap peradaban islam dan bisa memberikan motivasi
yang baik khususnya bagi para sarjana untuk bisa mencontoh semangat beliau. Kelebihan dari buku ini, yaitu :
- Susunan kalimatnya mudah dimengerti
- Bahasa yang di gunakan juga mudah untuk dipahami
- Isinya menarik perhatian pembaca
- Menumbuhkan jiwa semangat terhadap peradaban (sains) islam
- Adanya footnote di setiap kutipan sehingga terlihat jelas
Adapun Kekurangan dari buku ini, diantaranya :
- Banyak kosa kata asing yang sulit untuk dipahami.
- Setiap bab pada isi selalu mendeskripsikan kelemahan umat Islam.
- Susunan pembahasan tidak teratur, sehingga membingungkan pembaca dalam memahami isi bacaan.
Keterangan : Review Buku “ Jihad Intelektual: Merumuskan
parameter-parameter sains islam oleh Ziauddin Sardar” yang di terjemahkan
oleh AE Priyono dengan hak penerbitan Risalah Gusti
Langganan:
Postingan (Atom)